Senin, 15 Oktober 2012

Ridha Larasati a.k.a @RidhaLS


Oke..ini adalah Ridha Larasati Syarifah,panggilannya Ridho.Dia lahir di Jakarta,4 Juli 1997.Dia itu mempunyai pipi yang tampak seperti apel,yang mengakibatkan tangan-tangan datang untuk mencubiti pipinya,dia itu baik,walaupun judes (?),dia itu cantik walaupun jelek,dia itu bodoh walaupun pinter.Oke...sepertinya cukup sekian dari saya,sebelum empunya marah-marah dan menjabak rambut saya,karena terlalu banyak bicara.^^

Stiven Julian a.k.a @julianstvn



Oke...ini beberapa foto tipen yang dapat saya temukan,manusia ajaib ini bisa seriosa,pinter,tapi terkadang suka ketawa-ketawa sendiri,tukang gosip dan penggemar Milan.Dia itu pinter tapi...bodoh,dia itu (TIDAK) rajin menabung,(TIDAK) ramah..Oke..sekian dulu dari saya.Semoga bermanfaat bagi kita semua.Buat Tipen,peace ._.v

Thousand Years-Christina Perri


Heart beats fast
Colors and promises
How to be brave
How can I love when I’m afraid to fall
But watching you stand alone
All of my doubt suddenly goes away somehow
One step closer
I have died everyday waiting for you
Darling don’t be afraid I have loved you
For a thousand years
I love you for a thousand more
Time stands still
Beauty in all she is
I will be brave
I will not let anything take away
What’s standing in front of me
Every breath
Every hour has come to this
One step closer
I have died everyday waiting for you
Darling don’t be afraid I have loved you
For a thousand years
I love you for a thousand more
And all along I believed I would find you
Time has brought your heart to me
I have loved you for a thousand years
I love you for a thousand more
One step closer
One step closer
I have died everyday waiting for you
Darling don’t be afraid I have loved you
For a thousand years
I love you for a thousand more
And all along I believed I would find you
Time has brought your heart to me
I have loved you for a thousand years
I love you for a thousand more

Sandal Jepit..Digembok -__-


Sandal jepit butut merek SWALLOW aja di gembok coba,ini orang miskin atau bagaimana yaa?-__-

Times

Forget the times he walked by
Forget the times he made you cry
Forget the times he spoke your name
Remember,now you're not same
Forget the times he hold your hand
Forget the sweet things if you can
Forget the times and don't pretend
Remember now he just your friend

That Girl

Who's that girl?
Where's she from?
No,she can't be the one
That you want
You has stolen my world
It's not real,it's not right
It's my day,it's my night
By the way...
Who's that girl living my life?
Oh no,living my life
Seems like everything's the same around me
Then i look again and everything has changed
I'm not dreaming so i don't know why
I don't know why
She's everything i wanna be
I'm the one who made you laugh
Who made you feel
And made you sad
I'm not sorry,for what i did,for who i am
I'm not sorry,i'm not her
By the way...
Who's that girl living my life?

Minggu, 14 Oktober 2012

Semuanya..


 Brakk !
          Suasana kelas siang itu mendadak riuh dan kacau setidaknya mungkin hanya bagi Arin, ia berlari ke sudut kelas lalu duduk terdiam sambil menahan tangis . Gadis ini sudah tak kuasa lagi menahan beban di hatinya sendirian dan sahabat yang dulunya beucap akan selalu ada untuk Arin malah menjadi permasalahan dan menekan Arin sampai membuatnya merubah sikap terhadap sahabatnya,itu semua bukan tanpa alasan .
             “Heran gue , mereka itu sahabat apa bukan sih Rin ? halaah ngecap setia dan mau temenin lo suka duka , tapi apa ? sahabat yang lo bangga-banggain selama ini, liat noh malah mereka yang ngancurin lo , emosi gue nih . Ngomong dong Rin !!! “ Tina yang tadi langsung mengejar Arin ke tempat persembunyian yang sudah sangat dia hafal  dan terus mengoceh meskipun orang yang sedang diajaknya bicara jelas jelas masih tak bergeming. Pikiran Arin masih dibanjiri dengan kata-kata yang menusuk hati sampai ke jantungnya sekalipun yang terlontar dari mulut Sista yang notabene salah satu anggota kelompok permainan Arin,Sista adalah sahabat yang paling dekat dengannya dan biasa menjadi tempat Arin bercerita . “ Dasar cewek munafik .. munafik.. munafik ..munafik..”  kata-kata itu terus berputar di kepala Arin dan membuatnya  bingung , ia merasa semua ini seperti mimpi dan ia sungguh-sungguh tidak percaya meskipun jelas saat ini hatinya terasa sangat sakit hingga membuatnya tersadar bahwa  semua ini memang bukan mimpi  .
              Sejak pagi, Arin sudah menyadari adanya kejanggalan sikap Sista, Merry,dan Resti  terhadapnya . Awalnya ia tidak ingin mempermasalahkan hal itu hingga saat jam istirahat kedua tadi, mereka tiba-tiba mengajak Arin bicara di salah satu sudut sekolah dekat kafetaria . Disana, tidak hanya ada mereka, tapi Rico, Danny,dan Rezky kekasih Arin juga turut hadir . Arin masih tak mengerti asal usul semua yang terjadi padanya dan dia hanya bisa terduduk diam sambil mendengarkan apa yang  diucapkan mereka seolah sedang menghakimi Arin . Sepanjang pembicaraan ,Arin masih bersikap tenang tanpa menunjukan perubahan mimik sedikitpun , mencoba mencerna untaian kata-kata mereka satu persatu . “Jadi, selama ini lo nyembunyiin semuanya dari kita dan pura-pura care, pura-pura seneng , bahkan semua yang lo lakuin apa pura-pura juga ? “ucap Sista pada Arin sambil tertawa sinis .”Gue ga sebejad pikiran lo ya Sis ,”timpal Arin dengan nada sedatar mungkin berusaha untuk menahan bibirnya yang bergetar karena tak kuasa lagi menahan amarah dan kekalutan di dalam hatinya . Sahabatnya, bahkan kekasihnya sekalipun tiba-tiba menjaddi sosok-sosok ancaman bagi hidup Arin .
              “Rico udah certain semuanya, jadi gue salah hah? Jadi selama ini buat apa kita ngejalanin hubungan ini kalo lo ga nyadar juga gimana pengorbanan gue dan sekeras apa gue berjuang buat dapetin lo, bahkan buat dapet nilai baik di mata lo Rin ! “ bentak Rezky yang membuat hati Arin semakin perih, terlebih ketika ia berpikir tentang Rico yang awalnya menjadi satu-satunya sahabat yang masih ia percaya ternyata menjadi dalang kesakitan hatinya. Memang Arin pernah bercerita pada Rico tentang perasaannya yang akhir-akhir ini galau dan ia sendiri masih bingung akan sebab -akibatnya, tapi yang benar-benar sulit Arin percaya adalah tentang penghianatan Rico terhadapnya yang menjadikan semuanya runyam bagi Arin .
              “Bahkan lo nganggep kita semua pecundang yang suka ikut-ikutan dan lo sok tegar seorang diri gitu , dasar munafik ! lo tuh ga pernah ngehargain kita ya Rin, gausah deh kita bantu-bantuin selesein masalah orang munafik kaya lo!“ kata-kata itu terngiang di kepala Arin yang sudah hampir pecah dan membuatnya berusaha semakin keras untuk tidak menitikkan setetes air dari dalam mata bulatnya yang kini tertunduk bersama rintihan batinnya  . Arin hanya terdiam sampai waktu istirahat usai,bel masuk siang itu rasanya menjadi malaikat penyelamat Arin dari kisah traumatic yang masih dianggapnya sebagai tragedi mimpi .
              Sepanjang jam pelajaran terakhir, otak Arin tidak menampung sedikitpun pelajaran dari gurunya siang itu dan yang terlintas di  kepalanya hanyalah kata-kata terakhir yang telah merobek hatinya . Ia tidak pernah menduga semua pencurahan hatinya akan berbuah petaka, padahal sikap diam dan tertutupnya beberapa hari terakhir ini sudah begitu membuat hatinya terbebani .
              Noott…noott…nooott bel sekolah berdering tiga kali menandakan jam pelajaran usai dan waktunya pulang . Waktu yang biasanya menjadi saat yang paling dinanti Arin untuk segera tertawa riang  dengan sahabatnya ,namun pada siang itu berubah seolah menjadi mimpi buruk baginya dan yang ia inginkan hanyalah melenyapkan diri ke tempat dimana tidak seorangpun dapat menemukannya , sepertinya hal yang terjadi hari itu sudah cukup membuatnya tertekan, ia tidak ingin melanjutkan pembicaraan itu lagi, meskipun harus , karena tadi Resti bilang bahwa sepulang sekolah mereka harus menyelesaikan semuanya, masalah Arin dengan Rezky yang membuat semua sahabatnya terlibat karena sahabat Arin adalah sahabat Rezky juga , semua yang berdasarkan persahabatan namun malah memperluas alur masalah ,khususnya bagi Arin .
              “Gue gasuka masalah gue kalian umbar , masalah gue kalian gede-gedein . Ini hidup gue .Please ..gue juga pengen punya privasi meskipun kalian sahabat gue dan lo Ky,lo cowok gue . tapi ada saatnya gue harus nyimpen perasaan gue sendiri,ada hal-hal yang ga bisa gue bagi , hal-hal yang gue sendiri ga yakin tentang itu ,please … kalian sahabat gue kan ? Ky,lo sayang sama gue kan? Semuanya salah faham Ky, please ..” Arin tak kuasa lagi membendung tangisnya dan yang ia rasakan kini hawa dingin menyelimuti tubuhnya mungkin karena ketegangan dan beban yang ia tahan di dalam dadanya yang terasa sesak .
              “Satu lagi , gue bukan orang munafik dan buat Rico ,gue tau gue yang salah tapi asal lo tau, gue kecewa sama lo” Arin terisak , ia meraih tas berbahan jeansnya dari bangku ruangan kelas kosong di samping kelasnya dan hendak meninggalkan pembicaraan menyakitkan ini, setidaknya ia ingin terbebas setelah menjelaskan dan meluapkan perasaannya walau tanpa mengetahui reaksi dan tanggapan yang akan mereka lontarkan pada Arin selanjutnya . Arin hampir berdiri untuk beranjak meninggalkan tempat duduknya , namun uluran tangan hangat  menarik lengannya dan menahan ia untuk pergi, kehangatan yang sudah sangat akrab untuknya dan kerap membuat ia nyaman hingga merasakan kedamaian . Rezky menatap Arin sambil menghapus rintik tangis gadis itu dengan punggung tangannya .
              “Maafin gue ya Rin ..Gue juga sayang lo , gue akan selalu berusaha buat ngerti apa yang lo mau, apa yang lo butuh , tapi tolong jujur tentang apa yang lo alamin , lo boleh punya privasi , setiap orang punya privasi, tapi kita semua sayang sama lo. Kita ga akan tega liat lo tertekan ,Rin. Begitu juga dengan Rico ,dia ga berniat ngehianatin lo,Rin.“ jelas Rezky dengan suaranya yang lembut menenangkan hati Arin dan memulihkan kekacauannya . Terlihat Rico yang sedang berdiri sambil menyilangkan kedua tangan di dadanya tersenyum pada Arin,mewakili kata”Ya” akan penjelasan Rezky.
              “Iya, Rin. Maaf ya kalo kata-kata gue udah nyakitin perasaan lo , tapi semua itu karena gue kecewa sama lo yang ga percaya lagi sama kita , gue ngerasa lo beda . Gue mau kita saling berbagi ,mau itu susah atau seneng , dan lo cerita sama kita kalo sikap kita ada yang bikin lo ngebatin , jangan sampe lo pendam sendiri ya Rin “ lanjut Sista diikuti pelukan erat untuk sahabatnya tersayang, diteruskan dengan Resti dan Merry yang ikut memeluk Arin . Tangisan mereka pun pecah dan ruangan yang awalnya senyap kini diwarnai haru biru kisah persahabatan insan manusia yang terus-menerus belajar melalui kehidupan dan kesalahan .
***

Pelangi Terakhir

Siang itu langit tidak begitu cerah karena hujan baru saja berhenti mengguyur bumi ini.
Langsung saja aku melajukan mobil jazz biru-ku keluar dari sekolah yang begitu asri meski penghuninya adalah laki-laki semua. Melintasi jalanan yang becek akibat hujan tadi.
Byaaaarrrr….
Tak sengaja aku melintasi jalanan yang ada genangan air dan air tersebut membasahi baju seorang siswi yang sedang duduk di bangku taman dekat sekolahku. Gadis itu langsung bangun dari duduknya. Sambil membersihkan bajunya yang basah dan kotor mulutnya seraya mengatakan sesuatu seperti marah-marah.
“Huh sialan ! Baju gue jadi kotor dan basah gini kan ! Hey, baru bisa bawa mobil yah ? Atau enggak punya etika berkendara yang baik ? Enggak liat apa kalo ada orang disini. Aaaaahhhh !!” maki gadis itu kepadaku.
Kakiku langsung menginjak pedal rem. Mobil berhenti tak jauh dari tempat gadis itu. Aku melirik kaca spionku, ku lihat gadis itu tampaknya marah sekali karena bajunya basah karena kecripatan air hujan yang menggenang di jalanan. Sekilas aku memperhatikan gadis itu, dia tampak manis dan lucu meski ekspresi wajahnya adalah marah. Aku akui, gadis itu memang cantik.
Tanpa mempedulikan gadis itu yang masih ngomel-ngomel, aku langsung tancap gas karena saat itu aku memang sedang terburu-buru.

***

Ohh iya, hampir saja aku lupa memperkenalkan diri. Hehehe
Namaku Aldo Ramadhan. Aku anak kedua dari dua bersaudara. Sekarang aku masih duduk di bangku Sekolah Menengah Atas tahun ajaran terakhir. SMA Taruna Karya.
Nah, kalau gadis yang aku ceritakan di awal tadi namanya Nissa Putri Maharani. Dia adalah gadis yang periang, lucu, baik hati, ramah, juga gampang bergaul. Satu kelebihan dia adalah senyumanya yang manis yang mampu membuat hati yang melihatnya menjadi damai. Seperti saat melihat pelangi sehabis hujan.
Dan inilah ceritaku :)

***

“Hmm akhirnya sampai juga dirumah. Capeeekkk !” seraya membaringkan tubuhku di sofa empuk.
“Kok lama banget pulangnya, Do ? Kemana dulu tuh tadi ? Ngapelin cewek dulu yahh.“ ledek Kak Nanda.
“Lho Kakak ? Kok udah pulang aja, baru aku mau jemput.” Tanyaku heran melihat Kak Nanda sudah dirumah.
“Kelamaan nungguin kamu, jadi Kakak pulang aja naik taksi.”
“Yaahh maaf yah, Ka aku enggak bisa jemput Kakak di kampus. Tadi aku ada tambahan jam pelajaran, jadi pulang telat deh.”
“Iya enggak apa-apa kok. Naik ke atas sana, ganti baju terus makan.”
“Kakak udah makan ?”
“Udah tadi bareng sama Mamah.”
“Yasudah aku ganti baju dulu yah, ka. Dadaaah Kakakku sayang !” sambil mencium pipi Kakak aku langsung berlari menuju kamarku.
“Dasar Aldo nyebelin.”

***

Udara malam ini cukup dingin, memaksaku harus memakai pakaian panjang. Tugas sekolahku baru saja selesai aku kerjakan. Sekarang waktunya aku bersantai di temani lagu-lagu favoritku yang sedang mengantri di playlist MP3-ku.
Aku berbaring di kasur. Mataku memandang langit-langit kamar yang berwarna biru cerah. Tiba-tiba wajah gadis itu terlintas disana. Wajah yang manis yang membuat orang ingin menatapnya lebih lama.
“Hey, kira-kira tadi dia pulangnya gimana yah ?” tanyaku seraya merubah posisiku menjadi duduk. “Ah gue jadi merasa bersalah deh sama dia, udah bikin bajunya dia basah dan kotor gitu bukannya minta maaf ehh malah langsung pergi gitu aja. Tapi, apa yang dia lakukan disana ? Duduk sendiri sambil menatap langit. Apa dia sedang menunggu seseorang ?” tanyaku yang penasaran.

***

Di tempat yang berbeda, seorang gadis duduk di balkon kamarnya menatap langit. Langit malam ini sangat cerah, bertaburan bintang-bintang yang indah berkelip. Nampaknya malam ini hujan tidak turun meskipun udaranya cukup dingin.
“Bintangnya banyak banget malam ini. Itu artinya hujan tidak akan turun.” ujar gadis yang akrab di sapa Icha.
“Lagi ngeliatin apa sih ? Kayanya seneng banget, senyumnya sumringah gitu.” Ledek Bunda. “Perasaan tadi pulang sekolah mukanya di tekuk, bete, cemberut gara-gara bajunya basah dan kotor.”
“Ahh Bunda mah, jangan ngeledekin Icha dong !”
“Bunda enggak ngeledek kamu kok, Sayang !”
“Ehh Bun, langitnya cerah yah, bintangnya juga banyak tuh.”
“Iya, malam ini hujan tidak turun jadi bintang-bintang berkelip dengan indah menemani rembulan menyinari malam ini.” Seru Bunda mengiyakan pendapatku. “Kamu udah makan ?”
“Hmm belum, Bun. Tadi doang makannya pulang sekolah.”
“Yaudah sekarang kita makan dulu yuk. Ayah sama Dimas udah nunggu di bawah tuh.”
“Bunda turun duluan deh, aku mau beresin buku dulu buat besok.”

***

Bel istirahat baru saja berbunyi. Semua anak langsung berhamburan keluar kelas. Suasana sekolah pun ramai. Seperti biasanya, aku dan teman-temanku langsung menuju lapangan futsal untuk sparing futsal sama anak kelas yang lain.
“Ehh kalian ke lapangan duluan aja, nanti gue nyusul.” Seru Dimas membuka pembicaraan.
“Emangnya lu mau kemana, Dim ?” Tanyaku.
“Mau ke SMA sebelah. Bentar doang kok. Oke.” Seraya pergi meninggalkan anak-anak yang lain.
Tanpa sepengetahuan Dimas aku mengikutinya dari belakang. Ternyata memang benar Dimas ke SMA sebelah. Tepatnya sih menemui seorang gadis yang sedang duduk di bangku taman sekolah.
Ada beberapa gadis disana. Mereka sedang bersenda gurau. Tunggu. Gadis itu bukannya yang kemarin bajunya basah dan kotor karenaku. Dimas menemui gadis itu. Ada hubungan apa Dimas dengan gadis itu ?
Ku putuskan untuk menanyakan tentang gadis itu ke Dimas sepulang sekolah nanti. Sekarang lebih baik aku balik ke lapangan futsal.

***

Cuaca siang ini tidak begitu panas karena ada awan mendung yang sedang berdiam diatas sana. Entah kapan air hujan itu akan turun kembali membasahi tanah ini.
Hari ini Dimas pulang denganku. Motornya lagi di servis di bengkel. Kebetulan arah rumahku dengannya juga searah. Sekalian aku ingin menanyakan soal gadis itu.
“Jadi balik bareng gue enggak, Dim ?”
“Jadi lah, kalo enggak jadi gue pulang naik apa !”
“Yaudah kalo gitu kita cabut sekarang aja.”
“Tapi nanti dulu masih nunggu orang.”
“Emangnya nunggu siapa lagi ?”
“Ada lah, yaudah kita tunggu di taman depan aja deh.”
Mobilku pun telah keluar dari gerbang sekolah dan sekarang sedang terparkir di taman depan SMA Tunas Bangsa. SMA khusus untuk perempuan. Masih satu yayasan dengan sekolahku.
“Lu nungguin siapa sih ? Cewek lu yaahh.” Tanyaku setengah meledek.
“Bukan, dodol. Sejak kapan gue punya cewek !”
“Terus nunggu siapa ? Cewek yang tadi lu temuin yah pas istirahat.”
“Kok tau kalo gue nemuin cewek tadi ?”
“Tau lah, kan lu bilang mau ke SMA sebelah. SMA sebelah kan sekolah cewek, udah pasti lu nemuin cewek. Ahh gimana sih lu !”
“Ohh iya yah gue lupa. Hehe “ dengan wajah polosnya sambil garuk-garuk kepala yang sebenarnya enggak gatel.
“Mana deh ? Lama banget.”
“Bentar lagi keluar kok. Nah tuh dia anaknya.” Sambil menunjuk ke salah seorang gadis yang sedang berjalan keluar gerbang sekolah.
“Yang itu, Dim ?”
“Iya itu. Bentar yah gue mau ke sana dulu.”
Tak lama Dimas pun kembali ke dalam mobil bersama gadis itu. Gadis yang kemarin ku buat kesal.
“Ehh Do, kenalin nih Nissa biasanya di panggil Icha. Icha, nih Aldo temen gue.” Dimas pun memperkenalkan aku dengan gadis itu.
“Icha.”
“Aldo.” Tak sadar jantungku berdetak dengan cepat saat menjabat tangannya dan melihat matanya. Suaranya pun indah terdengar olehku. Sesaat aku terdiam. Suara Dimas menyadarkanku.
“Wooyy Do, ngapain bengong ? Kapan baliknya nih ?”
“Ehh iya he-eh. Sorry sorry gue bengong. Yaudah kita balik sekarang, tapi mampir dulu yah kita makan dulu, laper nih gue. Gue yang traktir deh.” Sambil menyalakan mobil dan kemudian meninggalkan taman SMA Tunas Bangsa.
Di dalam mobil tak ada pembicaraan, hanya suara music yang terdengar. Ku putuskan untuk membuka pembicaraan. Enggak nyaman rasanya dengan suasana seperti ini. Canggung.
“Dim, Icha siapa lu ? Pacar yah ? Hayo ngaku sama gue !” ledekku setengah tertawa.
“Haahh pacar ?” saut Icha dengan nada sedikit kaget. Namun tak lama terlihat senyum manis darinya yang ku lihat dari kaca depan.
“Ett nih anak ngeyel amat kalo di bilangin. Gue kan udah bilang tadi, gue enggak punya pacar !”
“Lah terus itu siapa ? Ngenalin ke gue cuma namanya doang.”
“Gue adenya Dimas kali.” Seraya senyum itu mengembang di sudut bibir tipisnya.
“Ehh adenya Dimas toh. Cantik. Kok lu enggak bilang-bilang sih kalo punya ade cewek, Dim ?”
“Ngapain gue bilang-bilang, emangnya penting gitu buat lu ? Iyalah cantik, kakaknya aja ganteng.” Jawab Dimas sambil tertawa bangga. Sedangkan Icha hanya tersenyum dengan wajah yang memerah. Senyum yang membuat jantungku kembali berdetak dengan cepat.
“Yeee dasar lu ! Oh iya Cha, gue mau minta maaf nih sama lu.”
“Lho minta maaf ? Emang punya salah apa sama gue ? Kenal aja baru beberapa menit yang lalu.” Tanya Icha yang heran karena aku tiba-tiba langsung minta maaf kepadanya.
“Kemaren baju lu basah kan gara-gara kecpritan air pas lu lagi duduk di bangku taman sekolah.”
“Lho kok lu tau ? Tau dari mana ?” Tanya Icha semakin bingung.
“Nah makanya itu gue minta maaf sama lu, kemaren yang nyepretin air ke lu tuh gue. Tapi gue enggak sengaja, beneran deh. Gue enggak tau kalo ada air di situ. Terus juga bukannya gue enggak mau minta maaf sama lu kemaren, gue buru-buru banget jadi gue cuma berenti bentar langsung pergi lagi.” Jelasku sejelas-jelasnya berharap Icha enggak marah dan mau maafin aku.
“Ohh jadi elu toh yang bikin baju ade gue basah kemaren. Gara-gara lu, Icha kemaren ngamuk di rumah. Orang rumah di diemin sama dia.” Sambar Dimas yang kesal karena di diemin sama Icha kemarin.
“Waduuhh sabar sabar, jangan pake emosi gitu lah, Mas ! Ichanya aja enggak sewot, ehh malah elu yang ngomel ama gue.”
“Ehh udah-udah enggak usah berantem gitu. Iya enggak apa-apa kok, Do tapi lain kali hati-hati kalo bawa mobil.” Jawaban Icha menenangkan hatiku. Ternyata dia enggak marah sama aku. Aku tersenyum.
“Ahh elu mah, De masa maafin Aldo sih ? Kemaren gue di diemin seharian, salah juga enggak sama lu !”
“Hehe maaf deh, Ka maaf. Lu tau kan gimana gue kalo lagi kesel sama orang.”
“Dasar Icha, bisa banget bikin orang enggak jadi marah dengan tampang polos kaya anak kecil gitu.”
Aku hanya tersenyum melihat keharmonisan hubungan kakak beradik itu.

***

Waktu berlalu dengan cepat. Perkenalanku dengan Icha yang begitu singkat kini telah membuatku menjadi lebih akrab dan dekat. Ada perasaan yang berbeda. Aku jatuh cinta kepadanya. Sejak saat pertama aku melihat wajahnya. “Apakah Icha memiliki perasaan yang sama denganku ?” tanyaku dalam hati.
Jam di kamarku menunjukkan jam 14.30. Ku lihat keluar hujan telah reda setelah satu jam mengguyur bumi ini. Langit pun kembali cerah, matahari keluar dari persembunyiannya. Aku teringat sesuatu. Pelangi. Yaa.. Icha suka sekali dengan pelangi. Segera ku ambil handphoneku yang ku letakkan di meja. Tanganku sibuk mengetik SMS untuk ku kirim ke Icha.
“Cha, langit di luar cerah. Ikut gue yah :)”
“Emg mau kmna?”
“Udh siap2 sna, gue lgi otw krmah lu.”
Langsung ku nyalakan mobil dan meninggalkan garasi rumah. Hari ini aku putuskan untuk mengungkapkan perasaanku kepadanya. Dan pelangi yang akan menjadi saksinya. Aku berharap Icha mau menerimaku menjadi pacarnya.
Ternyata Icha sudah siap disana. Dengan celana jeans dan baju hangat panjang. Rambutnya di biarkan terurai. Tak lama Icha telah berada di dalam mobil. Sesaat mobil pun telah meninggalkan halaman rumah Icha.
“Emangnya lu mau ngajak gue kemana sih ?”
“Ke suatu tempat. Pasti lu suka deh. Bentar lagi juga nyampe kok. Tapi ada syaratnya.”
“Kok pake syarat-syarat segala sih, Do ?”
“Hmm syaratnya, mata lu harus gue tutup.”
“Iya deh oke.”
Taman kota sore itu sangat ramai. Banyak muda-mudi yang sedang bersenda gurau disana. Maklumlah, malam ini kan malam minggu. Mobil telah terparkir, mata Icha pun telah tertutup. Aku menuntunnya menuju bangku taman yang kosong itu. Disitulah tempat yang pas untuk melihat pelangi.
“Gue itung sampai 3, baru lu boleh buka mata lu. Oke.” Icha hanya menganggukkan kepalanya ringan. “1…2...3… Lu boleh buka mata lu sekarang.”
“Waahhh… indah banget pelanginya. Gue baru kali ini bisa ngeliat pelangi seindah ini.” Wajah Icha pun terlihat bahagia sekali. Senyumannya menambah manis wajahnya yang cantik.
“Lu seneng ?” Tanyaku menatap wajahnya yang masih memandang pelangi di atas sana.
“Seneng banget, Do ! Makasih yah udah ngajak gue ke sini !”
“Sama-sama kok, Cha. Oh iya Cha, gue pengen ngomong sesuatu sama lu.”
“Ngomong apa ?” Tanya Icha yang penasaran.
Tanganku menggenggam tangannya. “Cha, gue sayang sama lu. Lu mau enggak jadi pacar gue ?”
Ku lihat wajah Icha memerah. Icha menunduk malu. Sepertinya dia kaget karena tiba-tiba aku mengungkapkan perasaanku. “Icha ? gimana mau enggak ?”
Icha mengangguk. “Iya, gue mau kok jadi pacar lu.” Diiringi dengan senyum manis itu lagi.
Aku langsung memeluk tubuhnya. Aku senang mendengar jawabannya. “Makasih yah lu udah mau nerima gue. Gue seneng banget !”
“Iya, gue juga sayang sama lu dari pertama gue kenal lu.” Ujar Icha seraya melepaskan pelukan.
Aku mengusap-usap rambut berponi itu. Senyumnya masih tergambar di sudut bibirnya. Tapi, tiba-tiba saja darah segar keluar dari hidungnya. Wajahnya berubah menjadi pucat.
“Cha, hidung lu kenapa keluar darah gitu ? Muka lu juga jadi pucet. Lu sakit yaahh ?” tanyaku khawatir dengan keadaannya yang mendadak berubah.
“Ahh enggak, gue enggak kenapa-kenapa kok, Do !” jawab Icha sambil membersihkan darah yang keluar dari hidungnya dan berusaha meyakinkan aku bahwa dia tidak apa-apa.
“Enggak apa-apa gimana ? Lu pucet, Cha. Darahnya juga keluar terus.”
Tiba-tiba Icha pingsan. Aku pun panik. Dengan segera aku bawa Icha ke rumah sakit terdekat dan menghubungi keluarganya.
Icha sedang dalam penanganan dokter di ruang UGD. Aku menunggu di koridor dekat ruang UGD dengan wajah yang sangat khawatir. Tak lama keluarganya pun datang. Ayah dan Bundnya juga Dimas.
“Icha kenapa, Do ? Kenapa Icha bisa masuk rumah sakit ?” Tanya Bundanya kepadaku dengan air mata yang membasahi pipinya.
“Icha kenapa sih, Do ?” pertanyaan yang sama dengan Bundanya di lontarkan oleh Dimas kepadaku. Dimas cemas begitu juga dengan kedua orangtuanya.
“Aldo juga enggak tau, Tante. Tiba-tiba hidung Icha ngeluarin darah. Aldo pikir cuma mimisan biasa, tapi darahnya keluar terus. Muka Icha jadi pucet terus Icha pingsan gitu aja.” Jelasku apa adanya. Karena aku pun tak tahu kenapa Icha tiba-tiba seperti itu. “Sekarang Icha lagi di tangani oleh dokter, Tante.”
Tak lama dokter pun keluar dari ruang UGD. Orangtu Icha langsung menhampiri Dr. Ivan dan menanyakan keadaan Icha.
“Dok, gimana keadaan Icha ?” Tanya Ayahnya Icha.
“Bapak dan Ibu bisa ikut saya ke ruangan saya.”
Dr. Ivan dan kedua orangtua Icha pun pergi menuju ruangan Dr. Ivan. Entah apa yang akan dibicarakan disana. Aku hanya bisa berdo’a semoga Icha tidak apa-apa.
Tak lama Icha di pindahkan ke ruang perawatan. Dimas dan aku menemani Icha, menunggu Icha sadar. Aku menggenggam tangan Icha erat.
“Do, gimana ceritanya sih Icha bisa masuk rumah sakit gini ?” Tanya Dimas.
“Hmm gue juga enggak tau, Dim. Tadi kan gue cuma ngajak dia buat ngeliat pelangi di taman kota sekalian gue pengen ngungkapin perasaan gue ke dia.”
“Lu nembak Icha, Do ?”
“Iya, gue udah jadian sama dia. Nah pas gue lagi ketawa-ketawa sama dia tiba-tiba hidungnya dia ngeluarin darah. Enggak lama dia pingsan. Yaudah langsung gue bawa ke rumah sakit deh.”
“Awas loh kalo lu berani bikin ade gue sakit hati. Berurusan sama gue !”
Tak lama orangtua Icha datang. Muka mereka tampak sedih dan takut. Melihat muka mereka seperti itu, aku pun ikut merasa takut. Aku takut sesuatu yang buruk menimpa Icha. Apa penyakit Icha sebenarnya ? Apakah sangat parah ?
“Icha sakit apa, Bun ? Kok muka Bunda sama Ayah sedih dan takut seperti itu ? Dr. Ivan bilang apa tentang keadaan Icha ?”
“Icha enggak kenapa-kenapa kok, Dim. Kamu tenang aja. Tapi untuk sementara, beberapa hari ke depan Icha harus banyak istirahat di rumah sakit.” Jawab Ayahnya seraya meyakinkan Dimas dan aku bahwa Icha tidak apa-apa.
Namun perasaan aku tidak enak. Hatiku berkata ada sesuatu yang sedang mereka sembunyikan dari aku, Dimas juga Icha. Icha, semoga kamu enggak kenapa-kenapa. Aku sayang kamu.

***

Sudah seminggu lebih setelah Icha diperbolehkan pulang oleh dokter. Keadaan Icha pun telah membaik, tapi masih harus banyak istirahat juga 3x dalam seminggu harus control ke rumah sakit. Selama itu pula hatiku terus bertanya sebenarnya Icha sakit apa. Semakin hari aku semakin takut kalau aku akan kehilangan Icha untuk selamanya. “Tuhan, tolong jangan Kau ambil dia sekarang. Aku masih membutuhkannya. Aku masih butuh gadis periang dan baik hati seperti dia. Masih butuh gadis yang mampu memberikan warna dalam hidupku. Seperti pelangi yang memberi warna dunia ini setelah hujan deras turun membasahi dunia. Gadis yang sangat aku sayangi.” Pintaku kepada Tuhan.
Hari ini sepulang sekolah aku akan mengantarkan Icha untuk control ke rumah sakit bersama Dimas juga kedua orangtuanya. Sejak Icha sakit, aku jadi ekstra perhatian sama dia, karena aku enggak mau Icha kenapa-kenapa. Orangtuanya pun telah memberi kepercayaan kepadaku untuk menjaga Icha.
Aku duduk di ruang tamu rumah Icha bersama Dimas dan orangtuanya sambil menunggu Icha ganti pakaian. Aku berharap hari ini aku bisa mengetahui sebenarnya Icha sakit apa. Tak lama Icha pun turun dengan pakaian yang serba panjang di tambah syal yang melingkar di lehernya. Kali ini rambutnya diikat.
“Kamu udah siap, Cha ?” Tanya Ayahnya memastikan.
“Iya, Yah. Kita berangkat sekarang aja nanti takut kesorean.”
“Yasudah kita berangkat sekarang aja.” Ujar aku mengiyakan pernyataan Icha.
Mobilku telah meninggalkan halaman rumah Icha yang lumayan luas dan rindang. Jalan kota agak sedikit licin karena hujan baru saja berhenti. Aku mengendarai mobilku dengan sangat hati-hati. Tak banyak perbincangan selama di perjalanan. Hanya senyum yang ku lihat dari bibir Icha. Senyum yang seakan berusaha meyakinkan aku bahwa dia tidak apa-apa.
Akhirnya sampai juga di rumah sakit setelah perjalanan kurang lebih satu jam. Icha dan kedua orangtuanya langsung menuju ruangan Dr. Ivan. Sedang aku dan Dimas menunggu di ruang tunggu.
“Dim, lu ngerasa ada yang aneh enggak sama orangtua lu waktu habis dari ruangan Dr. Ivan tempo hari yang lalu ?” tanyaku yang semakin penasaran.
“Hmm iya sih, Do. Kayanya ada yang mereka sembunyiin deh soal kesehatan Icha. Kalo emang Icha enggak apa-apa, kenapa mesti control 3 kali dalam seminggu ?”
“Kira-kira Icha kenapa yah, Dim ? Gue takut nih.”
Ayah Icha keluar dari ruangan Dr. Ivan dan meminta aku dan Dimas untuk masuk. Hatiku berdegup kencang. Rasa takut itu semakin menjadi-jadi. Aku masuk dengan tangan yang gemeteran.
“Nah, kalian semua sudah berkumpul disini. Saya ingin memberitahukan sesuatu kepada kalian. Terutama untuk Icha, Aldo juga Dimas. Tapi, saya mohon untuk tetap tabah setelah mendengar kabar dari saya.” Jelas Dr. Ivan dengan gaya dokter yang bijaksana.
“Emangnya ada apa sih, Dok ?” Tanya Dimas penasaran.
“Baiklah kalau begitu. Sebenarnya Icha mengidap penyakit leukimia stadium 4.”
“Apa ? Leukimia ?” aku dan Dimas tersentak kaget mendengar ucapan dokter. Sedangkan Icha hanya menatap Dr. Ivan dengan tatapan kosong. Air mata menetes di pipi Icha.
“Dokter bohong kan !? Enggak mungkin Icha bisa terkena leukimia !” Bantah aku yang tidak percaya dengan apa yang aku dengar barusan.
“Saya tidak bohong. Icha positif mengidap leukimia.”
Kakiku lemas. Aku terjatuh. Air mataku menetes, tak percaya bahwa gadis yang sangat aku cintai menderita penyakit yang begitu parah. Dimas berusaha menenangkan aku. Icha menggenggam tanganku erat.
“Aku enggak apa-apa kok. Kamu tenang aja yah, jangan sedih gitu.” Aku tak kuasa mendengar ucapan Icha barusan. Aku hanya bisa memeluknya.
Hening. Tak ada suara di ruangan itu. Hanya isak tangis Bundanya yang terdengar. Sedang aku masih erat memeluk Icha.

***

Semakin hari keadaan Icha semakin memburuk. Icha menolak untuk menjalani chemoteraphy. Karena menurutnya percuma saja menjalani chemoteraphy bila pada akhirnya cepat atau lambat dia harus pergi. Aku tak mampu berbuat apa-apa. Aku hanya berusaha membuatnya kuat. Icha memang seorang gadis yang tegar. Dia tidak pernah mengeluh dengan apa yang saat ini dia alami. Penyakit leukimia tidak pernah membuat dia menjadi seorang yang lemah. Icha tetap menjadi Icha yang biasanya. Tetap menjadi gadis yang periang, baik hati, ramah juga tetap memberi warna di kehidupan orang-orang di sekitarnya.
“Aldo.” Suara Icha menyadarkan aku dari lamunan.
“Eh Icha udah sadar ? Jangan banyak gerak dulu yah.” Pintaku. Icha kembali masuk rumah sakit, setelah kemarin kondisinya sangat buruk.
“Tadi kamu lagi ngelamunin apa sih ?”
“Hmm enggak kok, aku enggak ngelamunin apa-apa. Gimana, udah enakan badannya ?” tanyaku mengalihkan pembicaraan.
“Iya, aku udah enakan kok. Dari semalem kamu disini nemenin aku, Do ?”
“Iya aku dari semalem disini nemenin kamu. Tadinya sih Bunda kamu nyuruh aku pulang, tapi aku enggak mau. Aku pengen nemenin kamu disini.”
“Makasih yah, Do. Aku jadi enggak enak sama kamu, jadi ngerepotin kamu.”
“Sssstttt… Jangan ngomong kaya gitu lagi yah. Aku sayang kamu. Aku tulus kok nemenin kamu disini.”
Seutas senyum tergambar disana. Senyum manja yang sangat aku sukai. Semakin erat genggamanku. Aku mencium keningnya yang tertutupi oleh poni.
Tiba-tiba Dimas datang.
“Ciieee mesra banget sih pasangan yang satu ini.” Ledeknya.
“Kalo dateng ketok pintu dulu kek, kalo enggak ngasih salam. Ini mah main nyelonong masuk aja, pake segala ngeledek pula.” Protes aku yang merasa terganggu. Hehe
“Gimana Cha, udah baikan ?”
“Udah kok, Ka. Ayah sama Bunda mana ?”
“Ayah sama Bunda nanti nyusul. Katanya sih sekarang lagi di jalan.”
“Ohh iya, guru nanyain gue enggak, Dim ?”
“Iya nanyain, terus gue bilang aja bolos. Weeee..!!” jawab Dimas seraya terus meledekku.
“Ahh elu mah Dim, gitu sih sama temen. Ehh salah sekarang udah jadi ade ipar. Hahaa”
“Diihh ogah deh gue punya ade ipar kaya lu !”
“Issh kalian berdua apaan sih, malah ribut enggak jelas kaya anak kecil gitu.” Protes Icha heran.
“Hehehe bercanda doang, Cha. Yaudah kamu istirahat aja sana. Si Aldo biar sama gue dulu, enggak boleh gangguin ade gue istirahat.” Seraya menarikku keluar kamar perawatan Icha.
“Iya Cha, kamu istirahat aja. Aku sayang banget sama kamu.” Setengah berteriak setelah Dimas berhasil menarikku keluar.

***

Tuhan…
Mungkin umurku tidak lama lagi
Tapi jika memang bisa
Biarkan aku hidup sampai musim hujan ini berakhir
Aku ingin melihat pelangi untuk yang terakhir
Biarkan aku memberi warna untuk orang-orang yang aku sayangi untuk terakhir kalinya
Sebelum nanti pelangilah yang akan menggantikan aku

Terima kasih untuk Bunda dan Ayah
Yang telah merawat dan membimbingku sampai aku bisa seperti ini
Terima kasih untuk Kakak yang paling aku sayangi, Dimas
Yang telah menjaga dan mengerti aku dengan tulus
Terima kasih untuk Aldo
Yang telah menyayangi aku dan menguatkan aku disaat aku jatuh
Terima kasih untuk semuanya
Tanpa kalian aku bukanlah siapa-siapa

Tapi, ku mohon kepada kalian
Jika saat itu tiba, jangan ada tangis yang mengantarkan kepergianku
Aku mau kalian semua tersenyum
Seperti pelangi yang selalu muncul saat hujan reda
Kembali memberikan warna setelah awan mendung memberikan hujan

Icha sayang sama kalian semua :)

Tak sengaja aku membaca tulisan tangan Icha. Air mataku menetes membaca tulisan itu. Ternyata ketakutanku selama ini akan menjadi kenyataan. Aku akan kehilangan Icha untuk selamanya. Kehilangan sosok gadis yang sangat periang. Aku mencoba menguatkan diriku sendiri. Aku enggak boleh sedih, karena Icha pun tak pernah terlihat sedih sedikit pun.
Hari ini hujan turun sangat deras. Kamar rawat Icha terasa sangat dingin, padahal AC tidak menyala. Aku memandang keluar melalui jendela kamar rawat. Mungkinkah ini adalah hujan terakhir ? Apa mungkin ini adalah hari terakhir pula Icha dapat melihat pelangi ? Aku menghela nafas panjang.
Aku duduk di sofa dekat tempat tidur Icha. Saat ini Icha sedang tertidur setelah tadi dia minum obat. Aku membuka laptopku. Tanganku mulai asyik mengetik. Aku menuangkan semua isi di kepalaku. Aku menulis cerita tentang Icha dan jalan cerita cinta aku dengannya.
Hujan pun reda. Tak lama kemudian Icha terbangun.
“Aldo.”
“Ehh udah bangun toh kamu. Pas banget hujan baru aja reda.”
“Emang tadi hujan yah ?”
“Iya tadi hujan, tapi sekarang udah reda. Gimana keadaan kamu ? Aku mau ngajak kamu keluar. Kebetulan langit lagi cerah tuh, mataharinya muncul.”
“Hmm aku udah baikan kok.”
“Yaudah aku ngambil kursi roda dulu yah, sekalian minta izin sama dokter juga sama orangtua kamu.”
Setelah memohon-mohon kepada dokter dan orangtua Icha, akhirnya aku di perbolehkan untuk membawa Icha jalan-jalan menikmati suasana sore sehabis hujan. Entah mengapa aku merasa kalau ini adalah saat terakhir aku bersamanya, saat terakhir Icha dapat melihat pelangi.
Aku menuntunnya menaiki kursi roda. Membawanya keluar rumah sakit. Aku ingin membawanya ke taman kota, tempat pertama kali aku mengungkapkan perasaanku kepadanya. Tempat dimana pertama kalinya Icha melihat pelangi dengan indah. Untung saja rumah sakit tempat Icha dirawat tidak terlalu jauh dari taman kota.

***

Rumput taman basah karena baru saja terguyur air hujan. Langit sore itu tidak begitu cerah. Masih ada sisa-sisa awan mendung yang berdiam disana. Tercipta beberapa warna indah yang membentuk setengah lingkaran di atas langit.
Aku duduk berdua dengannya di bawah biasan warna pelangi yang begitu indah. Kulihat Icha sangat menikmatinya. Senyum yang sama saat pertama kali aku mengajaknya kesini. Tak banyak kata yang terucap antara aku dengannya. Tanganku merangkul Icha dari belakang. Dan Icha mengenggam tanganku begitu eratnya.
“Indah yah pelanginya, Do.” Seru Icha dengan suara yang lirih namun tetap dengan senyumannya yang khas.
“Iya pelanginya indah. Sama seperti kamu, Cha. Buat aku, kamu adalah pelangi yang mampu memberikan warna untuk hidupku. Aku begitu sangat sangat menyayangimu.”
“Aku juga sangat menyayangimu, Do.”
Perlahan warna pelangi itu memudar dan terus memudar hingga akhirnya menghilang. Genggaman erat tangan Icha terlepas dari tanganku. Aku menangis. Aku tahu bahwa Icha telah pergi bersama pelangi itu. Yang tersisa hanya biasan warna orange langit senja.
Selamat tinggal Icha. Terima kasih telah memberikan warna terindah didalam hidupku. Cintamu akan selalu ku kenang dalam hati.